TJONG A FIE

 

Tjong A Fie3

Tjong A Fie

Taipan Agung dari Tanah Deli

Tahun 1901. Sore yang indah di Kesawan. Sepasang suami istri Tionghoa berstelan Eropa duduk-duduk di beranda depan sebuah rumah paling mewah di sepanjang jalan itu. Mereka asyik mengobrol tentang cabang-cabang usaha dan keluarganya di Penang. Kadang-kadang putri mereka yang bermata sipit dan menggemaskan menunjuk-nunjuk ke arah jalan. Pipi remaja itu memerah jambu tertimpa matahari tropis yang menembus kerapatan tajuk pohon di pekarangan rumah.

Sesekali andong yang ditarik kuda lewat di depan. Baunya sangat khas ketika hewan-hewan yang berkeringat itu melintas. Di atasnya, orang-orang Belanda berpakaian rapi (kebanyakan putih) duduk dengan tenang sambil menikmati cerutu berbalut tembakau deli. Seorang sais tak berbaju asal Jawa, mengemudikan kereta dengan serius. Selain andong, yang lebih banyak melintas adalah para pegawai kantoran yang naik sepeda kumbang.
Tjong A Fie, demikian nama lelaki itu, sesekali melewatkan kewajibannya melambaikan tangan ke arah tuan-tuan kebun yang kebetulan lewat depan rumahnya. Sementara istrinya Lim Koei Yap ikut-ikutan sebagai kode tata krama. Hampir semua orang tampaknya mengenal A Fie. Bahkan mereka sedikit membungkukkan badan ketika menyapanya dari jalan.

A Fie berdiri, lalu bergerak beberapa langkah menuju pagar rumahnya sambil mengelus kepala patung singa yang tegak setinggi perutnya. Ia tidak memakai taucang lagi sebagaimana kuli-kuli Cina pertama yang dikapalkan tahun 1870 dari Penang dan Tiongkok. A Fie adalah tauke yang sudah setengah Eropa dalam perkara fashion.

Ia memandang ke sebelah kanan. Sekitar 300 meter, jurusan Esplanade, orang-orang mulai ramai. Sebuah klub terbesar di kota kecil ini sedang menjamu tamu-tamu yang umumnya orang Eropa. Klub itu bernama Witte Societeit. Para pebisnis dan pejabat menghabiskan akhir pekan di sini setelah lelah bekerja enam hari. Sesekali, A Fie nongkrong di sana untuk bersosialisasi dengan orang-orang penting.

Tuan A Fie memang punya kedudukan paling tinggi di kalangan Tionghoa Tanah Deli. Rumahnya sudah menunjukkan status itu. Ia juga mendapat kedudukan major (perwakilan tertinggi dari masyarakat Tionghoa) dalam hirarki kolonialisme Belanda di Sumatera Timur. Jabatan itu dinobatkan Belanda padanya pada tanggal 4 September 1885 sepeninggal abangnya, Tjong Yong Hian.

Rumah mereka yang berarsitektur khas tradisional Cina dibangun menjadi sebesar sekarang pada tahun 1900. Bangunan itu memiliki ukiran kayu yang indah dan memiliki dua patung singa yang terletak di dekat gerbang. Kisah hidup A Fie adalah cerita paling sukses di awal-awal berkembangnya perkebunan Deli, baik secara ekonomi maupun sosial.

Dia datang dari Desa Moy Hian, Provinsi Kanton, pada tahun 1875, dengan hanya bermodalkan beberapa keping uang perak yang dijahit pada ikat pinggangnya. Lalu ia mengadu nasib ke pesisir timur Sumatera sebagai pendatang asing yang miskin. Bersama saudaranya, Tjong Yong Hian, ia bekerja keras sebagaimana semangat apek-apek zaman dulu.
Mula-mula, A Fie sang perantau bersama saudaranya membuka kedai untuk melayani kebutuhan kuli-kuli Cina daratan yang baru tiba dan bekerja di Tanah Deli. Kedai itu bernama Bun Yon Tjong, sebuah kedai cina yang paling banyak dikunjungi saat itu. Tjong pun bisa mengumpulkan modal dalam sekejap.

Naluri bisnisnya yang kuat membuat usaha Tjong tumbuh dengan pesat. Mereka mulai membuka kebun dan turut dalam bisnis pengadaan barang untuk perkebunan-perkebunan Eropa. Pada tahun 1886, ia memindahkan imperium bisnisnya ke Medan sebagai kota yang baru diproklamirkan menjadi ibukota Sumatera Timur. Kala itu, Medan hanyalah sebuah kampung kecil yang berada di antara Sungai Deli dan Sungai Babura. A Fie membangun rumahnya di Kesawan, di atas bekas persawahan penduduk lokal yang masih banyak pacet, dan kemudian berkembang menjadi pusat bisnis baru.

Setelah itu, namanya mulai harum karena sifat kedermawanan dan kekuatan politiknya akibat kedekatan dengan Sultan Deli dan pejabat tinggi Hindia Belanda. Pengaruhnya terbentang mulai dari Sumatera, Jawa, Penang, Hongkong, Cina, hingga daratan Eropa. Jabatan Major Cina membuatnya banyak berurusan dengan masalah hubungan kerja, persengketaan, dan masalah-masalah sosial lainnya. Ia dianggap bijak memberi solusi untuk setiap persoalan yang muncul sebagai akibat pertumbuhan industri di Tanah Deli dan ikutannya ke luar negeri.

Orang Tionghoa Medan, terutama kalangan tua, tidak akan bisa melupakan budi pekertinya ketika dia membangun kuburan khusus untuk orang Cina. Pada saat jalur kereta api Medan -Belawan dibangun, Tjong A Fie sering menerima laporan bahwa para pekerja menemukan banyak tengkorak orang Tionghoa yang tidak dimakamkan dengan penghormatan karena ketiadaan uang dan pengaruh.

Tjong A Fie lahir tahun 1860 sebagai orang Hakka. Kehidupan yang kurang bagus di kampungnya membuat ia memilih merantau pada usia 15 tahun. Dan Tanah Deli ternyata menjadi takdirnya. Di sini ia bekerja keras dan giat membangun relasi, hingga kemudian terkenal sebagai seorang wirausahawan, bankir dan industrialis Tionghoa yang paling dihormati di Asia Tenggara. Lebih dari itu, A Fie dianggap sebagai salah satu pendiri Kota Medan. Perusahaannya mempekerjakan lebih dari 10.000 karyawan. Meskipun ia bukan satu-satunya yang terkaya di Medan, tapi kedermawanan dan kepemimpinannya sebagai Kapitan China (Majoor der Chineezen), membuat namanya istimewa.

Sebagai Bapak Kota Medan, A Fie memang punya peran penting dalam pendirian sejumlah bangunan penting di kota ini. Sekitar tahun 1888, Sultan Deli yang sedang berkuasa, Sultan Makmun Al Rasyid, hendak membangun sebuah istana di Medan. A Fie kabarnya menyumbang sampai 1/3 biaya pembanguan istana yang kini menjadi salah satu tujuan wisata itu.

Peninggalan A Fie yang lain adalah sumbangan sebuah jam besar kepada Kantor Kotapraja Medan pada tahun 1913. Jam itu sampai sekarang masih dipajang di Balai Kota Medan, sebuah bangunan Belanda yang terletak satu garis lurus dengan rumah Tjong A Fie. Jam buatan Firma Van Bergen di Heillgerlee Belanda itu ia persembahkan khusus untuk Kota Medan.

A Fie juga disebut sebagai orang pertama di balik pembangunan jalur kereta api (Deli Spoorweg Maatschappij) yang menghubungkan Kota Medan dengan wilayah Pelabuhan Belawan. Selain itu, dia menjadi donatur utama pembangunan Masjid Raya Al Mahsun. Untuk bidang kesehatan, dia mendirikan rumah sakit Tionghoa pertama bernama Tjie On Jie Jan.

Rumah A Fie di Kesawan menjadi kenangan yang tidak putus. Desain bergaya campuran Art Deco-Tionghoa-Barat itu kini menjadi salah satu ikon pariwisata Kota Medan, meskipun pengelolaannya jauh lebih buruk dari rumah Cheong Fatt Tze, famili mereka yang juga berhasil sebagai taipan besar di Penang.

Sewaktu menjabat sebagai Kapitan Cina, A Fie ikut mengoperasikan tempat perjudian yang disahkan pemerintah dan hampir tiga puluh rumah bordil. Di Amsterdam, dia menjadi salah seorang pendiri Institut Kolonial yang kini bernama Institut Tropis Kerajaan (Koninklijk Instituut voor de Tropen).
Karena pengaruhnya dalam perkembangan Kota Medan, nama Tjong A Fie sempat diabadikan sebagai nama sebuah jalan di kota ini, tapi persoalan politik akhirnya membuat nama jalan itu diganti menjadi Jalan KH. Ahmad Dahlan.

***

A Fie datang pada tahun kelima sejak dimulainya sejarah pengapalan kuli Cina ke Tanah Deli pada tahun 1870. Sejak itu, pertumbuhan perantau Cina tumbuh pesat di Kota Medan. Sampai pihak Belanda yang menjalankan aksi kolonialisme pun merasa penting membuat aturan khusus untuk orang-orang Cina.

Pendirian-pendirian kuil di sekitar Kota Medan mengindikasikan pertumbuhan pesat populasi Cina itu. Tahun 1878, kuil Zhenjun-miao dibangun oleh warga Chaozhou di Tanjung Mulia (antara Titipapan dan Labuhan). Sekitar tahun 1880-an kuil Guandi-miao dibangun oleh orang-orang Guangdong yang sekarang berlokasi di Jalan Irian Barat. Diikuti kemudian oleh pendirian kuil Guanyin-gong oleh warga asal Xinghua yang kini berlokasi di Jalan Yos Sudarso No. 46. Kuil lainnya, Guandi-gong, terdapat di Jalan Pertemburan No. 81, dekat Pulo Brayan. Kuil terakhir itu dibangun tahun 1890, yang kemudian diikuti oleh berbagai kuil lainnya yang tersebar di Medan dan sekitarnya.

Pada tahun 1886, ketika A Fie memindahkan pusat bisnisnya di Kesawan, puluhan kuil telah menjadi ciri yang melekat dalam setiap pemukiman masyarakat Tionghoa.

Pada saat yang sama, Kota Medan makin tumbuh pesat sebagai kawasan bisnis terpenting di Asia Tenggara. Hanya berjarak 300 meter dari rumah A Fie, telah berdiri Witte Societeit (klub terbesar waktu itu). Posisinya persis di sisi Kantor Pos Besar yang belum berdiri. Bangunan ini diciptakan untuk memenuhi kebutuhan rekreasi komunitas Eropa. Hotel De Boer (sekarang Hotel Inna Darma Deli) dibangun 10 tahun kemudian (1896) untuk memenuhi tingkat kunjungan dan kebutuhan bisnis para pengusaha yang makin intensif. Inilah hotel pertama di Kota Medan.

Pada tahun 1913, Tjong A Fie menyumbangkan menara lonceng untuk City Hall Building. Bangunan yang didirikan tahun 1908 ini didesain oleh Hulswit & Fermont Weltevreden bersama Ed Cuypers Amsterdam. Pembangunannya diikuti oleh pembangunan Kantor Pos Besar pada tahun 1909-1911, yang didesain oleh Snuyf, kepala Departemen Pekerjaan Umum. Pada tahun 1910, Javasche Bank yang juga didesain Hulswit & Fermont Weltevreden + Ed Cuypers Amsterdam, berdiri.

Pada tahun 1930-an kantor-kantor perusahaan baru makin menjamur di sekitar rumah A Fie di Kesawan. Salah satu pemicunya adalah berdirinya Kantor Perusahaan Dagang Belanda pada tahun 1929 yang pada zaman pendudukan Jepang dijadikan sebagai markas Gunseikanbu. Setelah Indonesia merdeka, gedung itu dipakai oleh Bank Exim.

Kesawan pada saat itu berkembang menjadi semacam “Wall Street”-nya Kota Medan. Rumah A Fie tampak sebagai jantung kota karena bangunannya yang khas dan menonjol.

Pada tahap berikutnya, kota ini pun menduduki posisi yang sangat penting untuk perdagangan regional dan pariwisata di Asia Tenggara. A Fie adalah salah seorang taipan penting yang membangun relasi bisnis dengan kawasan regional di Selat Malaka. Kota Medan menjadi terhubung secara dekat dengan Penang karena aktivitas yang intens di dua kawasan tersebut. Tidak hanya dalam hal perdagangan, tapi juga untuk tata kota dan arsitektur bangunan. Pengusaha-pengusaha perkebunan Inggris dan arsitek dari penduduk sekitar selat ini sering disewa oleh orang-orang kaya Medan. Sebaliknya, para arsitek dan pengusaha perkebunan Belanda membawa ide-ide baru melintasi selat tersebut.

Lapangan pusat kota terbuka di tengah kota pendudukan kolonial di Medan disebut “Esplanade”, sama seperti satu lapangan terbuka yang ada di Penang. Bangunan-bangunan rumah toko (ruko) serta tipe bangunan di kedua kota ini juga sangat mirip satu sama lain. Makanya, gabungan gaya Belanda dan Inggris sangat banyak terdapat di Kota Medan hingga sekarang.
Keberhasilan A Fie di perantauan tidak membuatnya lupa pada tanah kelahirannya.

Di Propinsi Nanking, Cina, A Fie membangun sebuah pabrik untuk mendorong perindustrian di sana. Atas jasa-jasanya, Kerajaan Cina mengangkat A Fie sebagai bangsawan dengan gelar Tjie Voe, dan pada tahun 1911 gelar itu dinaikkan lagi menjadi To Thay.
Itulah kisah taipan paling legendaris di Tanah Deli yang tak bisa dipisahkan dari sejarah Kota Medan. Jadi, orang Tionghoa sebenarnya bukan orang asing di kota ini.

Back to Medaninfo …